Asap Pertama yang Muncul di Ujung Desa
Kebakaran Hutan Akibat Pemanasan Global di Desa Teluk Pulai. Pagi itu, udara di Desa Teluk Pulai terasa lebih panas dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, dan burung-burung yang biasanya ramai berkicau tampak menghilang. Seolah-olah mereka tahu bahwa sesuatu yang buruk akan segera datang. Darto, seorang petani karet yang telah menetap puluhan tahun di sana, menatap langit yang mulai berubah menjadi kelabu pucat. Asap samar terlihat mengepul dari kejauhan, tepat di sisi barat hutan yang berbatasan dengan lahan pertanian warga.
Awalnya, ia berharap itu hanya asap dari pembakaran ranting sisa panen. Atau mungkin hanya kegiatan biasa warga yang sering terjadi menjelang siang. Namun, saat aroma terbakar mulai menyengat dan angin membawa bau hangus ke arah rumah-rumah, Darto mulai gelisah. Ia naik ke bukit kecil di samping rumahnya. Dari sana ia melihat garis merah api yang menjalar di batas hutan. Pertanda bahwa bencana besar sedang mendekat tanpa satu pun yang bisa menghentikannya.
Kebakaran Hutan Akibat Pemanasan Global Api Menjalar Lewat Tanah yang Retak
Menjelang sore, angin kencang bertiup dari utara, membawa debu dan serpihan abu halus ke pekarangan rumah. Api yang sebelumnya kecil mulai membesar dan menari liar di antara semak dan pohon-pohon kering. Darto, menyadari situasi sudah tak terkendali, segera menyuruh istri dan anak-anaknya mengemasi barang penting. Mereka berlari meninggalkan rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu tua yang mudah terbakar.
Malam itu, langit berubah merah menyala. Seluruh desa diterangi bukan oleh pelita, melainkan oleh kobaran api. Lahan pertanian, pohon-pohon karet, dan rumah warga terbakar satu per satu. Warga yang tak sempat mengungsi terjebak dalam kepanikan. Mereka hanya bisa menyelamatkan diri ke lapangan terbuka, sambil membawa anak-anak dalam pelukan. Api memakan habis seluruh kehidupan yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.
Langit Tidak Lagi Biru Selama Beberapa Minggu
Setelah api mulai surut dan sebagian besar wilayah terbakar habis, bukan kedamaian yang datang. Kabut asap tebal menggantung di atas desa selama lebih dari tiga minggu. Matahari hanya tampak sebagai bayangan samar di langit kelabu. Siang hari berubah menjadi senja muram. Aktivitas warga lumpuh, dan semangat hidup perlahan terkikis dalam keheningan dan udara yang sesak.
Darto yang biasanya bangun pagi untuk menyadap karet, kini hanya duduk termenung di depan gubuk darurat. Gubuk itu dibangun dari sisa kayu hangus. Ia menunggu udara kembali bersih agar bisa bernapas panjang tanpa rasa sakit. Anaknya yang masih kecil batuk terus-menerus dan sulit tidur karena sesak napas. Darto merasa putus asa. Ia tidak punya uang cukup untuk membawa anaknya ke kota, sementara rumah sakit terdekat penuh oleh pasien yang mengalami gangguan pernapasan.
Lahan Mati yang Tak Bisa Ditanami Kembali
Beberapa minggu kemudian, Darto kembali ke ladangnya. Ia berharap masih ada yang bisa diselamatkan. Namun, yang ia temukan hanyalah tanah hitam gosong yang tak lagi dikenalnya. Ladang itu seperti tempat asing yang belum pernah ia injak. Pohon-pohon karet yang dulu tegak menjadi tiang kehidupan, kini rebah tak bernyawa. Akar-akar tanaman tertanam di tanah yang mengeras seperti batu karena panas berkepanjangan.
Ia mencoba mencangkul tanah untuk mulai menanam sayur atau tanaman singkat. Namun, setiap sentuhan pada tanah membuat abu beterbangan. Hawa panas dari bawah permukaan membuat cangkul seperti menembus bara. Ia sadar bahwa tanah ini tak bisa ditanami dalam waktu dekat. Mungkin butuh bertahun-tahun untuk kembali subur. Kebakaran bukan hanya membakar daun dan batang, tapi juga membunuh isi bumi secara perlahan dan diam-diam.
Peralatan Rusak dan Harapan yang Runtuh
Darto kehilangan lebih dari sekadar lahan. Semua alat pertanian yang ia kumpulkan dari hasil kerja keras selama puluhan tahun turut hangus. Parang, cangkul, mesin semprot, dan pompa air yang ia beli dengan mencicil kini menjadi tumpukan besi terbakar. Tak satu pun yang bisa digunakan lagi. Semua hanya menyisakan kenangan pahit tentang kerja keras yang musnah dalam sekejap.
Ia pernah menyimpan benih unggul untuk musim tanam berikutnya. Namun benih-benih itu juga hangus bersama gudang kecil di samping rumahnya. Yang tersisa hanyalah luka dan pertanyaan. Mengapa bencana ini harus menimpa mereka yang hidup sederhana dan bergantung pada alam? Duduk di tanah yang gersang, Darto mengusap wajahnya yang hitam oleh abu. Ia berkata pada diri sendiri bahwa harapan memang bisa hilang secepat api membakar. Namun, ia belum siap menyerah, meski hatinya masih digenggam oleh kehilangan yang dalam.
Kebakaran Hutan Akibat Pemanasan Global Suara Alam yang Tidak Kembali
Malam yang biasanya dipenuhi suara jangkrik, burung hantu, dan angin di antara pohon, kini berubah menjadi kesunyian mencekam. Seolah-olah hutan telah pergi meninggalkan tempat itu. Darto yang terbiasa mendengar kicau burung dari balik ladang merasa ada yang benar-benar hilang. Bukan sekadar materi, tapi nyawa kehidupan liar yang dulu menjadi bagian dari keseharian warga desa.
Ia menyusuri bekas semak dan hutan kecil tempat anak-anaknya dulu bermain. Namun kini yang tersisa hanyalah jejak kaki binatang yang melarikan diri dan batang pohon hangus yang rapuh. Ia merasa bahwa bukan hanya rumahnya yang terbakar. Hutan, sahabat sunyi mereka selama ini, juga ikut mati. Semua lenyap tanpa jejak dan tanpa tanda akan kembali.
Waktu yang Tak Bisa Diulang Kembali
Darto menyesal. Saat ia dan beberapa warga melihat ada yang membakar lahan jauh di hutan, mereka hanya diam. Mereka merasa itu bukan urusan mereka. Tak disangka, api kecil itu menjadi monster besar yang menghancurkan desa dan kehidupan mereka. Semua berubah dalam sekejap. Tak ada waktu untuk bersiap, tak ada kesempatan untuk menghentikannya.
Kini ia sadar bahwa waktu tidak bisa diputar kembali. Diam saat bahaya datang adalah kesalahan besar. Ia bertekad, mulai hari itu, jika ada yang mencoba membakar hutan lagi, ia takkan tinggal diam. Ia tahu bahwa membiarkan satu pohon terbakar bisa berarti kehilangan masa depan satu keluarga. Mungkin juga lebih dari satu.
Kebakaran Hutan Akibat Pemanasan Global Janji Seorang Petani di Tanah Hangus
Beberapa bulan setelah bencana, Darto mulai menanam pohon di pinggir ladangnya. Meski tanah belum pulih dan hujan belum rutin turun, ia tetap menanam. Ia melakukannya dengan tangan sendiri, satu per satu, dengan keyakinan bahwa hutan bisa tumbuh kembali jika manusia mau belajar dari luka.
Ia mengajak anak-anaknya ikut menanam Ia ingin mereka tahu bahwa alam bukan hanya tempat tinggal, tapi juga sahabat yang harus dijaga. Di tengah tanah yang masih berbau hangus, ia berdiri tegak. Dalam hati ia bersumpah bahwa selama ia masih bisa berdiri, ia akan menjadi penjaga bagi tanah yang pernah ia cintai. Tanah yang pernah dikhianati oleh keserakahan manusia.
Baca Selengkapnya: Bagaimana Pemanasan Global Mempengaruhi Iklim Indonesia